Senin, 31 Januari 2011

Kamis, 23 Desember 2010

koleksi terbaru



Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.


Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya.

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.


> ENGLISH

An interpretation raises joglo building Java architecture reflects the quiet, present among the buildings that diverse. This interpretation has a characteristic use of a solid roof construction and arch-arch shape in space per room.
Joglo traditional house which is home to the relics of ancient indigenous art has qualified as a form of high architectural value and cultural areas at once is one art form or style of building traditional building arts.
Joglo is the main building frame of the traditional house consisting of four pillars form the main pole with a sleigh overlap songo (nine overlapping) or overlapping telu (three overlapping) on top. Joglo structure like that, except as the support of the main structure of the house, as well as support for the roof of a house roof can be shaped pencu.

At home architecture joglo, the art of architecture is not just understanding the art of home construction, is also a reflection of values and norms of society supporters. Human love the taste of beauty, even religiusitasnya attitude reflected in the architecture of the house with this style.
At the entrance has three doors, the main door in the middle and the second door on the left and right side of the main door. The three parts of the door has a symbolic meaning that the bow fighting in the middle for a big family, while two doors on the right side and left for besan.
In the inner room called Gedongan serve as the mihrab, the Imam leading the prayers that are associated with symbolic meaning as a sacred place, sacred, and sacred. Gedongan also doubles as the main bed are respected and in particular waktuwaktu used as sleeping space for children's wedding.

The front room called the guard satru provided to the people and is divided into two sections, left for the pilgrims and the right of women to male pilgrims. Still on guard satru space in front of the entrance there is one pole in the middle of space called a balance pole or pillar Geder, other than as a symbol of home ownership, the pole was also functioning as a sign or landmark to remind the residents about the oneness of God.

Senin, 06 Desember 2010

Rumah Joglo Jawa




*


Rumah Joglo (Yogyakarta)
Rumah bagi orang Jawa merupakan patokan tentramnya suatu keluarga, sebab dengan sudah mampu memiliki rumah, keluarga tersebut sudah merasa tenang, tidak harus nyewa atau ngindung (numpang).

Rumah-rumah yang ada di daerah perkotaan sangat padat, sehingga hampir tidak ada batas atau garis pemisah antara rumah satu dengan lainnya. Berbeda dengan rumah-rumah yang ada di daerah pedesaan, yang penduduknya masih memiliki pekarangan cukup luas, maka batas antar rumah sangat jelas, misalnya dibatasi pagar, pohon atau tanaman. Dahulu hanya orang yang tergolong dan terpandang dalam masyarakatlah, yang dapat membangun rumah joglo yang besar dan megah. Berbeda dengan orang biasa, pada umumnya mereka membangun rumah setengah permanen, atau rumah bentuk kampung ata rumah limasan sederhana. Perbedaan dari sebutan rumah itu dilihat dari atapnya dan kelengkapan ruangan dalam satu rumah. Tapi sekarang Rumah Joglo sudah dapat dibuat oleh golongan manapun asalkan cukup biayanya.

Bentuk Rumah
Orang Jawa menyebut rumah omah yang berarti tempat tinggal. Bentuknya empat persegi panjang atau bujur sangkar. Bentuk rumah joglo merupakan bentuk rumah tradisional Jawa yang paling sempurna. Bangunan ini memiliki bentuk dan teknik pembuatan tinggi, sehingga tampak sangat megah dan artistik. Keistimewaan rumah joglo terletak pada empat soko guru yang menyangga blandar tumpang sari. Kemudian bagian kerangka yang disebut brunjung yaitu bagian atas keempat soko guru atau tiang utama sampai bubungan yang disebut molo atau suwunan. Oleh karenanya rumah joglo banyak membutuhkan kayu sebagai bahan bangunannya.

Rumah tradisional Jawa bukanlah berbentuk panggung. Sebagai fondosi (bebatur) dibuat dari tanah yang ditinggikan dan dipadatkan atau diperkeras, yang menurut istilah setempat disebut dibrug. Tiang rumah didirikan di atas ompak, yaitu alas tiang dari batu alam berbentuk persegi empat, bulat atau segi delapan. Pada mulanya rumah joglo hanya bertiang empat seperti yang ada di bagian tengah rumah joglo jaman sekarang (soko guru). Selanjutnya joglo diberi tambahan pada bagian samping dan bagian lain, sehingga tiangnya bertambah sesuai dengan kebutuhan.

>ENGLISH

Houses Joglo (Yogyakarta)
Houses for Java is a benchmark tentramnya a family, because with have been able to have a house, the family was feeling calm, do not have to hire or ngindung (passengers).

The houses that exist in urban areas is very dense, so that almost no limit or the dividing line between the house of one another. Unlike the existing houses in rural areas, whose inhabitants still have a yard large enough, then the boundary between home very clearly, for example restricted fences, trees or plants. Previously only those who belong to and respected in the communities, which can build large houses and stately joglo. Unlike ordinary people, in general, they built a house half-permanent, or home village of simple Limasan ata house. Differences from the house as seen from the roof and completeness of the room in one house. But now House Joglo have to be made by any group so long as it cost enough.

Forms Home
The Javanese call home Omah which means place of residence. The shape is rectangular or square. Joglo home form is a form of traditional Javanese house the most perfect. This building has a high manufacturing techniques and forms, so that it looked very stately and artistic. Privileges joglo house situated on four pillars that prop blandar intercropping. Then the framework is called the upper fourth brunjung cornerstone or main mast until the ridge is called Molo or suwunan. Therefore joglo house requires a lot of wood as building material.

Javanese traditional house is not shaped stage. As fondosi (bebatur) is made of compacted soil or a raised and hardened, which according to the local term called dibrug. Pole house founded on ompak, namely natural stone plinth of rectangular, round or octagonal. At first only four-poster joglo house like the one in the middle of today's home joglo (cornerstone). Next joglo given additional on the sides and other parts, so the pole increases as needed.

Rumah adat sebagai lambang martabat ( Joglo )



Menurut cerita tutur selanjutnya disebutkan bahwa rumah-rumah adat yang begitu indah rata-rata telah berumur lebih dari 100 sampai 200 tahun. Dengan mendasarkan pada usia bangunan, maka apabila kita akan membahasnya harus menggunakan pisau analisis yang berlaku pada zamannya.

Menurut Prof Berger struktur masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan 20 dapat dibedakan dalam beberapa golongan yaitu; bangsawan, pangreh praja atau priyayi, pedagang, dan petani. Politik kolonial saat itu menanamkan politik emansipasi yang bertujuan membebaskan individu dari ikatan sosial lama yang dianggap membelenggu demi untuk kebebasan dan kepastian hukum yang berlaku terutama dalam ikatan feodal. Perkembangan individual masyarakat diarahkan pada pembentukan kepribadian, semangat berusaha agar kemakmuran dapat segera berkembang.

Singkat kata, penduduk Kudus yang dikategorikan sebagai penduduk pesisiran, taraf hidupnya jauh lebih maju jika dibanding dengan para bangsawan dan priyayi saat itu, tetapi dalam hidup keseharian mereka kurang mendapat penghargaan dan penghormatan di masyarakat. Mata pencarian sebagai pedagang dianggap rendah dan tidak terhormat, maka sebagai kompensasi penduduk Kudus Kulon yang mayoritasnya pedagang mewujudkannya dalam bentuk rumah yang dibuat sangat megah dengan harapan agar mereka juga berhak untuk mendapatkan kehormatan seperti layaknya para bangsawan. Ketinggian lantai rumah dibuat berundak untuk menyesuaikan dengan strata sosial seperti yang dilakukan oleh golongan ningrat. Tamu dari kaum petani diterima di ruang depan, untuk golongan priyayi diterima di ruang tengah sedang bupati dan orang Belanda diterima di ruang gedongan. Sekeliling rumah dibuat tembok tinggi sama seperti bentuk keraton.

Rumah-rumah adat yang semula dimiliki oleh pedagang Cina Islam ditiru dan dikembangkan dengan kaidah-kaidah Jawa dan ke Islaman seperti yang dianut oleh raja-raja di pedalaman. Seluruh komponen rumah diukir penuh dengan ornamen dari berbagai gaya seperti halnya di istana oleh para pengukir dengan keterampilan tinggi dan hasilnya sangat menakjubkan sehinggga sepantasnya bila mendapatkan pengakuan kehormatan seperti layaknya kaum priyayi dan bangsawan. Bagi mereka, rumah adalah simbol status atau martabat si pemilik yang sudah sepantasnya bila mendapatkan penghormatan dan penyetaraan

> ENGLISH

According to the story said further stated that these houses are so beautiful traditional average has been outstanding for more than 100 to 200 years. By basing the age of the building, then when we will discuss it using a knife analysis of prevailing in his time.

According to Prof Berger social structure of Java in the 19th century and 20 can be divided into several groups, namely; nobility, pangreh praja or aristocratic, traders, and farmers. Colonial policy was aimed at instilling political emancipation freeing individuals from the old social ties that are considered shackles the freedom and the rule of law that applies particularly in feudal ties. The development community is directed to the formation of individual personality, the spirit of trying to prosperity can develop quickly.

In short, the Holy residents who are categorized as coastal residents, their living standards far more advanced when compared with the nobility and aristocratic at the time, but in their daily lives get less appreciation and respect in society. Livelihood as traders considered low and not honorable, then as compensation for the majority population of the Holy Kulon make it happen in the form of traders who made a very grand house in the hope that they also may be eligible for an honor like the nobles. The height of the house floor is made with staircase to adjust to the social strata as practiced by the noble class. Guests of the farmers were accepted in the hall, to be accepted aristocratic faction in the den was regent and the Dutch accepted in Gedongan space. High wall built around the house like a palace.

Traditional houses originally owned by Chinese traders Islam imitated and developed with the rules of Java and the Islamic as adopted by the kings of the outback. All over the house filled with ornaments carved from various styles like in the palace by skilled woodcarvers with high and rightly so as the results were amazing when you get recognition like the aristocratic honor and nobility. For them, home is a symbol of status or prestige of the owner that it is appropriate that when you get respect and equality

Senin, 14 Juni 2010

Prambanan Temple


Merupakan peninggalan Hindu terbesar di kawasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak lebihkuang 17 kilometer di sebelah Timur kota Yogyakarta. Candi Prambanan merupakan kompleks percandian dengan candi induk menghadap ke arah Timur, dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 meter.

Agama Hindu mengenal Tri-Murti, yang terdiri dari Dewa Brahmana sebagai sang Pencipta, Dewa Wishnu sebagai sang Pemelihara dan Dewa Shiwa sebagai sang Perusak.

Bilik utama dari candi induk kompleks candi Prambanan ditempati oleh Dewa Shiwa sebagai Mahadewa sehingga dapat disimpulkan bahwa candi Prambanan mreupakan candi Shiwa.

Candi Prambanan atau candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai candi Roro Jonggrang, berkaitan dengan legenda yang menceritakan tentang seorang dara yang jonggrang atau gadis yang jangkung, putrid Prabu (Raja, yang dalam bahasa Jawa sering disebut Ratu) Boko, yang membangun kerajaannya diatas bukit sebalah Selatan kompleks candi Prambanan.

Bagian tepi candi dibatasi dengan pagar langkan, yang dihiasi dengan relief Ramayana yang dapat dinikmati bilamana kita berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat candi selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu. Cerita itu berlanjut pada langkan candi Brahma yang terletak di sebelah kiri (sebelah Selatan) candi induk. Sedang pada pagar langakn candi Wishnu yang terletak di sebelah kanan (sebelah Utara) candi induk, terpahat relief cerita Kresnadipayana yang menggambarkan kisah masa kecil Prabu Kresna sebagai penjelmaan (titisan) Dewa Wishnu dalam membasmi keangkaramurkaan yang hendak melanda dunia.

Bilik candi induk yang menghadap kea rah Utara berisi patung Durga, permaisuri Dewa Shiwa, tetapi umumnya masyarakat menyebutnya sebagai patung Roro Jonggrang, yang menurut legenda, patung batu itu sebelumnya adalah tubuh hidup dari purti cantik itu, yang dikutuk oleh ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya menciptakan seribu patung dalam waktu satu malam.

Candi Brahma dan candi Wishnu yang kini sudah selesai pemugarannya masing-masing hanya memiliki 1 buah bilik yang ditempati oleh patung dewa-dewa yang bersangkutan.

Dihadapan ketiga candi dari Dewa Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana (kendaraan) ketiga dewa tersebut. Ketiga candi itu kini sudah dipugar dan hanya candi yang ditengah (di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembu yang bernama Nandi, kendaraan Dewa Shiwa. Patung angsa senagai kendaraan Brahma dan patung garuda sebagai kendaraan Wishnu yang diperkirakan dahulu mengisi bilik-bilik candi yang terletak di hadapan candi kedua Dewa itu, kini telah dipugar.

Keenam candi itu merupakan 2 kelompok yang saling berhadapan, terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar, dengan sisi sepanjang 110 meter.

Didalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah berdiri di sebelah Utara dan yang lain di sebelah Selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sudut.

Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindu sebagai halaman paling sacral ini, terletak di tengah halaman tengah yang mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi perwara sebanyak 224 buah berderet-deret mengelilingi hfalaman dalam 3 baris.

Diluar halaman tengah ini masih terdapat halaman luar yang berbentuk segi empat dengan sisi sepanjang 390 meter.

Kamis, 10 Juni 2010

pantai paris ( Parang Tritis )


Pantai Parangtritis, adalah sebuah pantai di pesisir Samudra Hindia yang terletak kira-kira 27 kilometer sebelah selatan kota Yogyakarta.Parangtritis merupakan objek wisata pantai yang cukup terkenal di Yogyakarta selain objek pantai lainnya seperti Samas, Depok, Baron, Kukup, Krakal, dll. Sebenarnya di wilayah pesisir selatan Jogja terdapat sekitar 13 obyek wisata pantai yang semuanya memiliki pesona wisata. Namun entah mengapa Parangtritis yang menempati urutan pertama dalam angka kunjungan wisata, dibanding pantai-pantai lainnya. Mungkin dikarenakan Parangtritis mempunyai keunikan pemandangan yang tidak terdapat pada objek wisata lainnya yaitu selain ombak yang besar juga adanya gunung – gunung pasir yang tinngi di sekitar pantai, dimana gunung pasir tersebut biasa disebut gumuk.
Kepercayaan masyarakat setempat tentang legenda Nyi Roro Kidul juga dengan sendirinya melahirkan pesona tersendiri sehingga mampu menyedot jumlah wisatawan lebih besar dibanding pantai-pantai lainnya. Ada kepercayaan unik di Parangtritis. Boleh percaya boleh tidak bahwa memakai pakaian berwarna hijau di Parangtritis bisa membawa petaka. Menurut kepercayaan masyarakat setempat warna hijau adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul, sehingga dikhawatirkan yang memakai baju / kaos hijau akan diseret ombak ke laut karena dikehendaki oleh sang penguasa laut selatan. Adapun kebenarannya, wallahu alam bishawab.
Pantai yang termasuk wilayah Bantul ini merupakan pantai yang landai, dengan bukit berbatu, pesisir dan berpasir putih serta pemandangan bukit kapur di sebelah utara pantai. Di kawasan ini wisatawan dapat berkeliling pantai menggunakan bendi dan kuda yang disewakan dan dikemudikan oleh penduduk setempat. Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Kraton Yogyakarta.
Nama Parangtritis mempunyai sejarah tersendiri. Syahdan, jaman dahulu kala seseorang pangeran bernama Dipokusumo yang melarikan diri dari Kerajaan Majapahit datang ke daerah tersebut untuk melakukan semedi. Ketika melihat tetesan-tetesan air yang mengalir dari celah batu karang, ia pun menamai daerah ini menjadi parangtritis, dari kata parang yg artinya batu dan tumaritis yang bisa diartikan sebagai tetesan air.
Banyak sisi menarik apabila kita berwisata ke Parangtritis. Pemandangan alamnya yang indah tentu saja yang menjadi sajian utama. Untuk menikmatinya, kita bisa sekedar berjalan kaki menyusuri pantai. Atau jika nggak mau capai kita juga bisa menyewa jasa bendi yang akan mengantar kita melewati rute serupa. Selain bendi ada pula tawaran menunggang kuda untuk menjelajahi pantai.
Selain pemandangan alamnya ternyata di Parangtritis ada juga tempat bersejarah yang terdapat di sekitar pantai. Salah satunya adalah Makam Syeh Bela Belu yang terletak di jalan menuju pantai. Kita bisa naik melalui tangga yang menghubungkan jalan raya dengan bukit tempat makam sakral ini. Umumnya, banyak peziarah datang pada hari Selasa kliwon.
Lalu ada pula wisata gua, Gua Langse namanya. Untuk menuju Gua Langse harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 3 km dan melalui tebing setinggi 400 meter dengan sudut kemiringan yg sangat terjal. Untuk memasuki gua yang juga sering disebut sebagai Gua Ratu Kidul ini, anda harus meminta ijin pada juru kuncinya terlebih dahulu.

candi boko kalasan



Candi Ratu Boko (Queen Boko Temple) adalah situs arkeologi yang terletak di antara bukit, disebut Bukit Boko. Situs ini terletak di 196 m di atas permukaan laut.

Pada titik tertinggi di situs ini, ada paviliun kecil dimana Anda dapat melihat panorama candi Prambanan dengan Gunung Merapi sebagai latar belakang. Candi Boko terletak kurang lebih 3 kilometer ke arah Timur dari kompleks Candi Prambanan ke arah Piyungan (lihat peta di bagian bawah).

Nama “Boko” itu sebenarnya berasal dari raja legendaris, Raja Boko, disebutkan dalam cerita rakyat Loro Jonggrang. Candi yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, keturunan Wangsa Syailendra.
Meskipun situs tersebut diduga dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, namun situs yang sebenarnya dibangun masih misteri sampai sekarang.

Di masa lalu, situs ini dibangun sebagai tempat meditasi untuk keluarga kerajaan. Situs ini dibagi menjadi empat bidang utama: tengah, timur, barat dan timur selatan.
Di tengah, Anda akan menemukan gerbang utama situs, sebuah gerbang tinggi 3 meter yang berbatasan dengan situs daerah luar.Di pintu gerbang Panabwara utama terdapat tulisan yang ditulis oleh Rakai Panabwara, keturunan Rakai Panangkaran . Dia mengukir namanya di sana dalam rangka untuk melegitimasi kekuasaannya di istana ini.
Memasuki gerbang utama, Anda akan menemukan halaman yang luas yang terdiri dari 2 candi, Candi Batu Putih (White Rock Temple) yang terbuat dari batu kapur putih dan Candi Pembakaran (Burning Temple) yang berfungsi sebagai krematorium untuk membakar mayat.Hanya beberapa meter dari Candi Pembakaran, terletak kolam pemandian suci, yang diyakini dapat membawa keberuntungan bagi mereka yang berendam di sana. Kolam ini digunakan oleh Hindu untuk melakukan ritual Tawur Agung.

>ENGLISH

Candi Ratu Boko (Queen Boko Temple) is an archaeological site that lies between the hill called the Mount of Boko. The site is located 196 m above sea level.

At the highest point on this site, there is a small pavilion where you can see the panoramic view with Mount Merapi, Prambanan temple as a backdrop. Boko Temple is located approximately 3 kilometers to the east of Prambanan Temple complex in the direction Piyungan (see map below).

The name "Boko" is actually derived from the legendary king, King Boko, mentioned in folklore Jonggrang Loro. The temple was built during the reign of Rakai Panangkaran, Wangsa descendant dynasty.
Although the site allegedly built in the reign of Rakai Panangkaran, but the actual site was built remains a mystery until now.

In the past, this site was built as a place of meditation for the royal family. The site is divided into four main areas: central, east, west and south east.
In the middle, you will find the site's main gate, a 3 meter high gate adjacent to the site area Panabwara luar.Di main gate there are posts written by Panabwara Rakai, Rakai Panangkaran descent. He carved his name in there in order to legitimize his rule in this court.
Entering the main gate, you will find a large yard that consists of two temples, Candi Batu Putih (White Rock Temple) made of white limestone and the Temple of Combustion (Burning Temple) that serves as a crematorium to burn mayat.Hanya few meters from the Temple Arson, lies the sacred bathing pool, which is believed to bring good luck to those who bathe there. This pool is used by Hindus to perform the ritual Tawur Court.